Minggu, 17 Januari 2021

Sebuah Perjuangan Merawat Ingatan: Refleksi 14 Tahun Aksi kamisan

 

14 Januari 2021, Memperingati 14 Tahun Kamisan.

 18 Januari 2021, Aksi Kamisan menempati umurnya yang ke-14 tahun. Ada sebuah kebanggaan di mana, dalam rentan waktu yang tidak sedikit itu, banyak kawan-kawan yang bersolidaritas tetap bertahan melawan lupa , merawat ingatan, dan menahan luka-luka yang tak tersembuhkan. Mereka yang masih kuat memegang payung menuntut keadilan pada para pemangku kekuasaan di beberapa titik di seluruh Indonesia, walau terkadang harus dihadapkan pada pengrisakan-pengrisakan — entah dengan perkataan-perkataan atau cara-cara kekerasan, mereka tetap ada dan berlipat ganda.

 Selain itu ada pula rasa sedih dan sesak yang menggumpal di dada tatkala mengingat bahwa Aksi Kamisan lahir sebagai gerakan yang menuntun penyelesaian kasus pelanggaran HAM di masa lalu. Di mana, itu berarti, selama 14 tahun ini belum ada itikad baik dari pemangku kekuasaan untuk mau belajar dari masa lalu dan mencoba menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM yang ada. Maka kebanggaan yang tadi dirasakan tak lebih hanya sebatas tali penghibur sementara, di mana pada kenyataannya aksi yang ke-14 tahun ini menjadi suatu peringatan bahwa negara sudah tidak mau mendengarkan tuntutan-tuntutan rakyatnya. Dengan kata lain, negara membiarkan kasus-kasus pelanggaran HAM itu terjadi dan menganggap bahwa dengan berlalunya waktu semuanya akan selesai dan terlupakan.

 Dalam upaya merawat ingatan serta merayakan perjuangan yang belum selesai dari Aksi Kamisan, maka ada baiknya kita sedikit merefleksikan kembali ihwal Hak Asasi Manusia (HAM) dan pelanggaran-pelanggarannya di Indonesia yang dibiarkan oleh negara dengan berlalunya waktu. Selain itu, diharapkan tulisan ini juga bisa memantik kesadaran bahwa kasus-kasus pelanggaran HAM tak boleh dibiarkan begitu saja, karena bisa saja hal itu terulang pada generasi kita — baik selanjutnya — jika tak pernah ada kepastian hukum yang dapat mengadili serta memberikan efek jera terhadap para pelaku pelanggaran HAM.

Apa itu Hak Asasi Manusia?

 Menurut definisi unum, Hak Asasi Manusia (yang disingkat menjadi HAM) memiliki arti sebagai suatu hak-hak dasar yang dimiliki manusia semata-mata karena ia terlahir sebagai manusia. HAM berlaku bagi siapa saja, di mana saja, dan kapan saja; itu berarti bahwa HAM memiliki sifat yang universal dan menyeluruh, hal ini diakibatkan bahwa penekanan HAM terhadap manusia bukan manusia yang khusus — entah dibedakkan usia, gender, pekerjaan, atau apapu n— tapi semata-mata manusia sebagai ‘manusia’ pada umumnya.

 Wacana-wacana mengenai HAM awalnya muncul pada Zaman Pencerahan, di mana pencerahan di sini merujuk pada perkembangan-perkembangan paham bahwa manusia dengan kesadarannya hadir sebagai titik pusat alam semesta atau yang biasa disebut sebagai humanisme. Hal ini tentu disebabkan oleh trauma akan Abad Pertengahan yang banyak membelenggu kebebasan manusia sebagai individu  yang merdeka, di mana segala sesuatu diatur oleh Gereja sebagai perpanjangan tangan Tuhan. Wacana mengenai HAM, yang pada saat itu lebih terkenal sebagai hak kodrati, hadir ditandai oleh lahirnya berbagai pemikir Abad Pencerahan seperti Locke dengan tulisan-tulisannya.

 Di abad modern ini, wacana-wacana mengenai HAM datang dari gelombang peperangan pada paruh abad ke-20 yang nantinya melahirkan sebuah Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia (PUHAM) yang berisil 30 pasal memgenai HAM oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Hal itu disepakati hampir oleh seluruh negara anggota PBB dan beberapa di antaranya menyatakan untuk abstain, sehingga akhirnya PUHAM ini dijadikan sebagau rujukan dan kodifikasi internasional dalam menetapkan hukum dan peraturan mengenai HAM. Layaknya di Indonesia, hal ini terwujud dalam Undang-Undang Nomor 39 tahun 1998 tentang Hak Asasi Manusia yang di dalamnya terdapat pembahasan mengenai hak untuk hidup, hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan, serta lainnya. Undang-Undang No. 39 dapat diakses di tautan.

 Secara singkat, begitulah perkembangan wacana dan ide mengenai HAM hingga akhirnya sampai pada zaman kita sekarang ini. Tentu konsep dan ide mengenai Hak Asasi Manusia terus berkembang dan tak pernah surut dari ktirik serta perdebatan, maka dari itu kewajiban kita untuk terus mempertanyakan dan mencari tahu hal ihwal mengenai manusia serta ke-ada-annya di alam semesta ini. Belum lagi, di tengah maraknya perkembangan teknologi serta informasi ini, manusia seolah-olah kehilangan keautentikan subjeknya sebagai mahluk yang memiliki akal pikiran yang bebas dan merdeka.

Obor Perjuangan Melawat Ingatan itu Bernama: Aksi Kamisan

 Seringkali melaksanakan aksinya di titik-titik keramaian dan juga sentral pemerintahan, begitulah para penggiat Aksi Kamisan menyuarakkan tuntutannya dengan ciri khas dresscode warna hitam, payung hitam, dan juga banner berisi tuntutan serta seruan-seruan. Aksi di-mulai setiap Kamis sore hari, setelah asar hingga menjelang maghrib dengan tema yang sudah ditentukan, tak lain dari seputaran kasus-kasus pelanggaran HAM. Aksi diwarnai oleh berbagai kegiatan dimulai dari orasi, pembacaan puisi, serta aksi diam.

 Pada mulanya, Aksi Kamisan merupakan embrio daripada  Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK), Jaringan Relawan Korban (JRK), dan Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) untuk menjalankankan program demi tegaknya keadilan bagi korban pelanggaran HAM di Indonesia. Aksi ini diinisiasi oleh 3 orang keluarga dari korban pelanggaran HAM berat yakni Maria Katrina Sumarsih (orang tua dari korban Peristiwa Semanggi I), Suciawati (suami dari aktivis Munir yang diracun pada 2004), serta Bedjo Untung (Korban pelanggaran HAM 65’).

 Mereka semua adalah orang yang menolak untuk lupa bahwasannya ada tanggung jawab negara yang tak terpenuhi, ada suatu luka yang memang sengaja dibiarkan menganga tanpa diobati. Ada yang masih mencari anggota keluarganya yang dihilangkan paksa pada periode 1998-an akibat protes besar-besaran pada rezim Soeharto, mereka masih berharap bahkan hanya untuk suatu kepastian: di mana anaknya? Masihkah mereka hidup atau telah tiada? Kalaupun tiada, kenapa mereka harus ditiadakan? Siapa yang telah merenggut anak mereka dari keluarganya? Jika terbukti terdapat pelanggaran HAM, sudahkah negara adil dan bijaksana dalam menyelesaikannya, bahkan jika terbukti negara sendiri sebagai pelakunya.

 Ada yang masih bertahan hidup dengan trauma akan ingatan-ingatan 65’, akan pemerkosaan-pemerkosaan, pembunuhan keluarga terdekat, atau mungkin kehilangan waktu-waktu yang dihabiskan dalam pembuangan tanpa proses peradilan. Ada yang masih menuntut hak-haknya untuk mendapatkan kejelasan, untuk terus menuntut apa yang UU No. 39 tahun 1999 Bagian Kelima pasal 33 tuliskan:

(1) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya.

(2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penghilangan paksa dan penghilangan nyawa.

Mereka adalah yang tetap tabah diam menuntut kejelasan selama 14 tahun dengan diam memegang payung menjadi katarsis di hari Kamis, tanpa pernah negara dengan serius menanggapinya. Apakah negara berpikir bahwa mereka dapat meredam suara-suara yang meronta-ronta dari kerongkongan penderitaan rakyat? Mereka lupa, seperti kata Widji Thukul seorang aktivis korban penghilangan paksa 98’, bahwa kebenaran akan terus hidup sekalipun kau lenyapkan; kebenaran takkan mati, aku akan tetap ada dan berlipat ganda. Bahwa semangat-semangat itu takkan padam diredam zaman, ia senantiasa diwariskan pada generasi-generasi selanjutnya sebagai api yang tetap terus menyala. Bahwa pada akhirnya, sejarah yang akan membuktikan sendiri; sejarah yang akan membebaskan mereka!

Menurut data Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS), pada Februari 2020 tercatat bahwa Aksi Kamisan telah digelar di 36 titik di 22 kota. Obor perjuangan itu masih berlanjut, Aksi Kamisan pun terus merawat ingatan menuntut kejelasan. 

Aksi Kamisan!

Aku Kamisan!


1 komentar: