Minggu, 15 Juni 2025

Ode to The Mets: Kekalahan yang Kita Banggakan


(Cover album The Strokes, The New Abnormal)

Akhir-akhir ini sedang senang sekali mendengarkan alunan Jules dalam lagu Ode to The Mets dari album The New Abnormal-nya The Strokes. Ada sesuatu yang getir sekaligus tenang, tetapi juga di saat yang bersamaan berkecamuk hebat di lagu itu. Mungkin karena, sama seperti nuansa yang lagu itu bawa, aku terjebak di ruang sunyi untuk menunggu sesuatu yang sebenarnya enggak bakal pernah datang lagi.

"Gone now are the old times. Forgotten, time to hold on the railing.”

Sesekali ketika mendengar lagu ini, ingatan kembali pada masa-masa SMP di Bandung sekitar medio 2016-2018an. Masa-masa yang terasa jauh di sana, tetapi justru hangat dan hidup di balik ingatan.

Sekarang apa lagi yang tersisa kira-kira?

Hari-hari yang dilalui dengan penuh kebosanan-kebosanan yang datang bagai tamu tak sopan. Waktu tak pernah terlalu berbahaya untuk diantisipasi, hanya sekadar rutinitas kosong yang terepetisi tanpa henti. Obrolan-obrolan tentang pencapaian dan kemuakan-kemuakan lainnya.

Rasanya seperti mayat hidup di antara bayang-bayang masa lalu yang terlalu menyilaukan.

Bayangkan betapa takutnya Senin pagi hari saat SMP dulu tidak membawa topi, malu sampai mati ketika dilihat gebetan dihukum di depan siswa-siswi. Bayangkan betapa asyiknya jalan kaki dari Cinunuk – Cileunyi, melewati Borma lanjut terus ke Rully Pancing. Kadang berhenti sebentar di sana, makan es krim Aice sambil ngobrol bareng kawan satu-dua. Memaki dunia, memaki knalpot orang-orang norak yang berisik, memaki mereka yang tak kuat bertahan jalan kaki di era gempuran muda-mudi naik motor kekinian. Berteriak lepas, menyapa para supir truk yang hilir-mudik dengan kesibukan orang yang dewasa yang tak pernah benar-benar kami pahami.


Sesekali menertawakan kekalahan diri sendiri karena tidak bisa sama seperti orang-orang, suatu bentuk penerimaan diri yang ironis tapi justru membebaskan. Hanya dengan penerimaan yang jujur, kita bisa menemukan kembali diri kita yang paling tulus. Bukan begitu orang bilang?

“Innocent time, out on his own ... I was just bored, playin’ the guitar. Learned all your tricks, wasn’t too hard.”

Masa-masa SMP adalah masa di mana ayah dan ibu mesti berpisah, tetapi ironisnya masa-masa itu yang paling aku rindukan. Masa yang kesannya traumatik, tetapi justru memberikan banyak kenangan baik. Di balik beratnya kehidupan rumah, ada guru-guru dan teman-temanku yang hadir mengisi kekosongan di hari-hari yang agak kurang. Mereka terlibat banyak dalam prosesku memahami harapan di tengah-tengah dunia yang sakit.

Ada Ibu Novi, Ibu Elisa, Riffan, Anisa, Reza, Duta, Akmal, Hafiz, Ibe, Chesta dan seluruh teman-teman yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Harapan dan kesenangan ngambil bentuknya yang paling sederhana pada diri mereka. Sialnya, terimakasih dalam bentuk apapun takkan mampu membayar seluruh hal yang mereka berikan padaku. Sialan memang.

Sekarang apa lagi yang tersisa kira-kira selain lagu itu dan kenangan yang masih berputar di kepala seperti radio usang yang menolak rusak.

Entah anugerah atau kesialan—gone noew are the old times ... forgotten, time to hold on the railing. Kasih yang begitu besarnya mesti terasa amat kecil sekarang. Terlupakan. Ternistakan. Entah anugerah atau kesialan, yang tersisa hari ini hanya sekadar pertamanan tanpa tujuan. Perasaan peduli yang seolah dipaksakan, sisa-sisa kepentingan yang menyeruak bagai abu mayat ayah di kemarin sore. Entah anugerah atau kesialan, jangan-jangan ini hanya bentuk kegagalan diri melihat kepedulian mendapatkan bentuknya yang paling baru dan mutakhir?

Mungkin aku yang terlampau rusak untuk memahami dunia yang tumbuh begitu cepat. Suatu kenyataan yang—sayangnya—kadang justru menyakiti orang-orang di sekitarku hari ini. Tapi apa artinya semua penyesalan itu?

“The Rubik’s Cube isn’t solving for us. Old friends, long forgotten. The Old ways at the bottom ocean now has swallowed.”

Mungkin memang tragedi tidak pernah beranjak pergi, ia hanya berganti rupa untuk kali ini. Kepergian tidak lagi menampak diri sebagai tangan yang melambai dari kejauhan, tetapi kematian yang datang tanpa aba-aba. Pengkhianatan tidak lagi datang dari desas-desus, tetapi tepat menghujam jantung di depanmu, bahkan saat kamu berharap panah itu bertarung demi dirimu. Mungkin aku hanya terlalu naif, menolak dengan keras dunia yang perlahan berubah lalu nyaman menenggelamkan diri di masa lalu yang tidak akan pernah beranjak.

Rasa-rasanya jatuh cinta juga gak pernah seberat ini dulu. Perasaan kagum yang datang sepulang dari Perpustakaan Daerah, sesekali tatapan sekilas yang menyiratkan kebingungan: siapa namanu? Tanpa segala tetek bengek beliin aku kosmetik dong, tanpa kesanggupan finansial atau standar yang diberikan oleh algoritma. Cinta dijual murah dengan berbagai ukuran, diobral habis di badan pelelangan yang tampil sebagai lautan data.

Cinta mana lagi yang bisa berbicara tulus kalau segala hal telah ter-standarisasi sedemikian rupa? Kesetaraan pun menampilkan wujudnya yang paling kejam, kesetaraan yang tanpa dibarengi dengan keadilan kelas. Jika cinta memang hak semua orang, kenapa ia dijual mahal bagi kaum miskin? Mungkin aku yang terlampau rusak untuk dunia yang sebegini adanya

“Innocent eye, innocent heart. No, it’s not wrong, but it’s not right. Innocent time, out on his own. Not gonna do that, I’m out of control.”

Jules mungkin benar, Ode to The Mets tidaklah sepenuhnya untuk The Mets—klub baseball asal Amerika yang kalahan itu. Ode to The Mets adalah untuk orang-orang seperti kita, yang kadung naif dan terlempar dari dunia yang ya sudah begini dan begitu. Mungkin juga memang bukan dunia yang keliru, tetapi kita yang salah memahami. Terlanjur jadi manusia yang jujur dalam mencinta dan tulus merangkul kekekalahan.

Dunia mungkin terlalu berisik untuk kasih yang berbisik tenang di sore hari, ia terlampau kilap bagi sedikit cahaya yang masuk lewat celah-celah kaca Damri lalu jatuh tepat pada wajahmu. Di sisa-sisa kekalahan yang kita punya hari ini, apalagi yang bisa diharapkan selain sedikit saja ketulusan yang diberikan walau pada akhirnya kita engga mungkin pernah menang? Bukan untuk dikasihani, bukan pula untuk diratapi. Mungkin pada akhir di setiap detiknya, kita bisa jujur terhadap diri sendiri. Toh, bukankah kekalahan yang masih bisa terasa manusiawai ya di tengah-tengah dunia yang kadung nafsu terhadap kemewahan, kesempurnaan, dan kemenangan?

“The only thing that’s left is us. So pardon the silence, that you’re hearing it’s turnin’ into defeaning, painful, shameful roar.”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar