"Gone
now are the old times. Forgotten, time to hold on the railing.”
Sesekali ketika mendengar
lagu ini, ingatan kembali pada masa-masa SMP di Bandung sekitar medio 2016-2018an.
Masa-masa yang terasa jauh di sana, tetapi justru hangat dan hidup di balik
ingatan.
Sekarang apa lagi yang
tersisa kira-kira?
Hari-hari yang dilalui
dengan penuh kebosanan-kebosanan yang datang bagai tamu tak sopan. Waktu tak
pernah terlalu berbahaya untuk diantisipasi, hanya sekadar rutinitas kosong
yang terepetisi tanpa henti. Obrolan-obrolan tentang pencapaian dan kemuakan-kemuakan
lainnya.
Rasanya seperti mayat
hidup di antara bayang-bayang masa lalu yang terlalu menyilaukan.
Bayangkan betapa takutnya Senin pagi hari saat SMP dulu tidak membawa topi, malu sampai mati ketika dilihat gebetan dihukum di depan siswa-siswi. Bayangkan betapa asyiknya jalan kaki dari Cinunuk – Cileunyi, melewati Borma lanjut terus ke Rully Pancing. Kadang berhenti sebentar di sana, makan es krim Aice sambil ngobrol bareng kawan satu-dua. Memaki dunia, memaki knalpot orang-orang norak yang berisik, memaki mereka yang tak kuat bertahan jalan kaki di era gempuran muda-mudi naik motor kekinian. Berteriak lepas, menyapa para supir truk yang hilir-mudik dengan kesibukan orang yang dewasa yang tak pernah benar-benar kami pahami.
Sesekali menertawakan kekalahan diri sendiri karena tidak bisa sama seperti orang-orang, suatu bentuk penerimaan diri yang ironis tapi justru membebaskan. Hanya dengan penerimaan yang jujur, kita bisa menemukan kembali diri kita yang paling tulus. Bukan begitu orang bilang?
“Innocent
time, out on his own ... I was just bored, playin’ the guitar. Learned all your
tricks, wasn’t too hard.”
Masa-masa SMP adalah masa
di mana ayah dan ibu mesti berpisah, tetapi ironisnya masa-masa itu yang paling
aku rindukan. Masa yang kesannya traumatik, tetapi justru memberikan
banyak kenangan baik. Di balik beratnya kehidupan rumah, ada guru-guru dan
teman-temanku yang hadir mengisi kekosongan di hari-hari yang agak kurang.
Mereka terlibat banyak dalam prosesku memahami harapan di tengah-tengah dunia
yang sakit.
Ada Ibu Novi, Ibu Elisa, Riffan,
Anisa, Reza, Duta, Akmal, Hafiz, Ibe, Chesta dan seluruh teman-teman yang tidak
bisa disebutkan satu persatu. Harapan dan kesenangan ngambil bentuknya
yang paling sederhana pada diri mereka. Sialnya, terimakasih dalam bentuk apapun
takkan mampu membayar seluruh hal yang mereka berikan padaku. Sialan memang.
Sekarang apa lagi yang
tersisa kira-kira selain lagu itu dan kenangan yang masih berputar di kepala
seperti radio usang yang menolak rusak.
Entah anugerah atau
kesialan—gone noew are the old times ... forgotten, time to hold on the
railing. Kasih yang begitu besarnya mesti terasa amat kecil sekarang.
Terlupakan. Ternistakan. Entah anugerah atau kesialan, yang tersisa hari ini
hanya sekadar pertamanan tanpa tujuan. Perasaan peduli yang seolah dipaksakan, sisa-sisa
kepentingan yang menyeruak bagai abu mayat ayah di kemarin sore. Entah anugerah
atau kesialan, jangan-jangan ini hanya bentuk kegagalan diri melihat kepedulian
mendapatkan bentuknya yang paling baru dan mutakhir?
Mungkin aku yang
terlampau rusak untuk memahami dunia yang tumbuh begitu cepat. Suatu kenyataan
yang—sayangnya—kadang justru menyakiti orang-orang di sekitarku hari ini. Tapi
apa artinya semua penyesalan itu?
“The
Rubik’s Cube isn’t solving for us. Old friends, long forgotten. The Old ways at
the bottom ocean now has swallowed.”
Mungkin memang tragedi
tidak pernah beranjak pergi, ia hanya berganti rupa untuk kali ini. Kepergian tidak
lagi menampak diri sebagai tangan yang melambai dari kejauhan, tetapi kematian
yang datang tanpa aba-aba. Pengkhianatan tidak lagi datang dari desas-desus,
tetapi tepat menghujam jantung di depanmu, bahkan saat kamu berharap panah itu bertarung
demi dirimu. Mungkin aku hanya terlalu naif, menolak dengan keras dunia yang
perlahan berubah lalu nyaman menenggelamkan diri di masa lalu yang tidak akan
pernah beranjak.
Rasa-rasanya jatuh cinta
juga gak pernah seberat ini dulu. Perasaan kagum yang datang sepulang
dari Perpustakaan Daerah, sesekali tatapan sekilas yang menyiratkan kebingungan:
siapa namanu? Tanpa segala tetek bengek beliin aku kosmetik
dong, tanpa kesanggupan finansial atau standar yang diberikan oleh algoritma. Cinta
dijual murah dengan berbagai ukuran, diobral habis di badan pelelangan yang
tampil sebagai lautan data.
Cinta mana lagi yang bisa berbicara tulus kalau segala hal telah ter-standarisasi sedemikian rupa? Kesetaraan pun menampilkan wujudnya yang paling kejam, kesetaraan yang tanpa dibarengi dengan keadilan kelas. Jika cinta memang hak semua orang, kenapa ia dijual mahal bagi kaum miskin? Mungkin aku yang terlampau rusak untuk dunia yang sebegini adanya
“Innocent
eye, innocent heart. No, it’s not wrong, but it’s not right. Innocent time, out
on his own. Not gonna do that, I’m out of control.”
Jules mungkin benar, Ode
to The Mets tidaklah sepenuhnya untuk The Mets—klub baseball
asal Amerika yang kalahan itu. Ode to The Mets adalah untuk orang-orang
seperti kita, yang kadung naif dan terlempar dari dunia yang ya sudah
begini dan begitu. Mungkin juga memang bukan dunia yang keliru, tetapi kita
yang salah memahami. Terlanjur jadi manusia yang jujur dalam mencinta dan tulus
merangkul kekekalahan.
Dunia mungkin terlalu
berisik untuk kasih yang berbisik tenang di sore hari, ia terlampau kilap bagi
sedikit cahaya yang masuk lewat celah-celah kaca Damri lalu jatuh tepat pada
wajahmu. Di sisa-sisa kekalahan yang kita punya hari ini, apalagi yang bisa
diharapkan selain sedikit saja ketulusan yang diberikan walau pada akhirnya
kita engga mungkin pernah menang? Bukan untuk dikasihani, bukan pula
untuk diratapi. Mungkin pada akhir di setiap detiknya, kita bisa jujur terhadap
diri sendiri. Toh, bukankah kekalahan yang masih bisa terasa manusiawai ya di
tengah-tengah dunia yang kadung nafsu terhadap kemewahan, kesempurnaan, dan
kemenangan?
“The
only thing that’s left is us. So pardon the silence, that you’re hearing it’s
turnin’ into defeaning, painful, shameful roar.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar