Hari
ini sedang malam-malam karena di luar gelap gulita, hanya bulan di sana berdiri
dengan cantik. Matahari sedang pulang kerja, istirahat di rumahnya. Sementara
aku belum tidur, mengetik-ngetikan jari di laptop ini. Mencoba menulis karena
entah harus apa lagi, hanya memuaskan dorongan untuk menceritakan apa yang
ingin diceritakan. Semoga saja terpuaskan, walau jujur aku dilahirkan bukan
untuk jadi alat pemuas.
Malam ini ditemani musikalisai puisi dari Jalaluddin Rumi yang entah mengapa aku tiba-tiba saja mengetik hal itu di kolom Youtube, lalu ku-klik saja salah satu pilihan yang menampilkan dua orang piawai ini meracik puisi indah itu. Lirik-liriknya diambil dari Ghazal—semacam bentuk puisi Arab—Rumi nomor 1499, 1497, 1496. Kalian mesti mendengarkannya, kalau mau. Rasanya seperti di Timur Tengah sana, seperti apa namanya ... fatamorgana.
Aku
jadi berpikir, berpikir apa saja. Berpikir bahwa mungkin Rumi dilahirkan memang
untuk menjadi Rumi yang sebagaimana Rumi adanya, tetapi mengapa aku dilahirkan
menjadi aku yang sebegini-begininya. Tapi oh, tapi aku berpikir lagi, aku ingat
firman Allah yang Maha Baik Hati itu, “Sesungguhnya
Aku telah menciptakan manusia dalam bentuk sebaik-baiknya!” Oh, ternyata
begitu. Mungkin memang aku tidak pernah bisa menjadi seperti Rumi yang hebat
sekali, tetapi walau sehebat apapun Rumi takkan pernah menjadi aku yang ngetik
di depan laptop; yang pernah naik kereta api; yang pernah minum boba enak di
Manisi.
Tapi
tentunya, aku juga takkan pernah bisa menjadi Rumi yang puisinya dinyanyikan
dua pria Iran itu dengan indah sekali. Yang puisi-puisinya banyak menginspirasi
orang dengan berbagai cara yang puisi-puisi itu bisa berikan ke berbagai macam
manusia dengan latar belakang yang berbeda-beda. Atau mungkin menjadi Rumi yang
rela meninggalkan semuanya demi kecintaannya terhadap Kekasih Sejatinya, yang
kuat menjalani rasa sakit dalam kerelaan dan keridhoan hati. Oh, aku sungguh enggak bisa kayaknya, engga kuat juga
... maklum kalau kata Ayah Pidi aku ini sejenis laki-laki penuh dosa (lapendos).
Aku
takkan pernah bisa menjadi Rumi, ya Allah. Rumi adalah Rumi yang pernah hidup
di zaman dahulu, jauh sebelum aku dilahirkan ke bumi ini. Rumi adalah yang
terus-menerus bertasbih mengingat-ingat diri-Mu dalam syair-syairnya yang
sedang kudengarkan ini, yang selalu menari-nari berputar merayakan kehidupan
yang penuh akan cinta-Mu ini. Rumi adalah ia yang terus-menerus mengetuk
pintu-Mu, lalu ternyata ia sadar bahwa selama ini yang ia ketuk adalah pintu
dirinya sendiri. Oh ya Allah, kalau memang kau sedekat urat nadi, kalau kau
memang sedekat itu denganku, bolehkah aku bertanya? Oh ya Allah, ini sudah
tengah malam, bolehkah aku bertanya?
Aku
mungkin tak bisa menghayati cinta-Mu sebagaimana Rumi merasa dan melakukannya,
namun bolehkah kuhayati cinta-Mu itu dengan cara-cara yang kumiliki sendiri?
Dengan ke-khas-an yang kau berikan pada tiap-tiap orang di muka bumi ini? Oh ya
Allah, aku ingin merasakan cinta-Mu di dalam bioskop-bioskop yang menampilkan
The Batman (asyik banget), bolehkah? Aku ingin merasakan cinta-Mu dalam
bulir-bulir air Thai Thea yang masuk ke kerongkonganku yang dengan itu aku jadi
senang dan tidak haus lagi, bolehkah ya Allah? Bolehkah ya Allah aku rasakan
cinta-Mu itu yang dengan keluasan hati melahirkan Kurt Cobain yang nantinya
bikin Band Nirvana dan dengan itu aku bisa mendengarkan Smells Like Teens Spirit untuk menjadi semangat menjalani hidup
ini? Bolehkah ya Allah aku rasakan cinta-Mu itu hadir dalam refleksi diri ini
mendengarkan lagu-lagu Kunto Aji atau Tulus yang kemarin-kemarin baru
mengeluarkan album baru yang sunguh menyentuh itu? Bolehkah ya Allah, aku
mencintaimu dengan cara-cara sederhana seperti itu seperti puisi Pak Sapardi
itu, oh aku ingin mencintai-Mu dengan
sederhana! Bolehkah ya Allah aku rasakan cinta-Mu itu di sela-sela tulisan
tak serius ini, di balik titik atau koma-koma yang terselip di dalamnya?
Bolehkah,
Ya Allah, aku anak generasi Z ini membaca cinta-Mu itu di balik kelangkaan
minya goreng dan harga-harga kebutuhan pokok yang kini tengah naik semaunya.
Bolehkah ya Allah aku melaksanakan firman pertamamu dalam pembacaan mengenai
isu jabatan presiden yang katanya mau jadi tiga periode, mengenai kasus-kasus
korupsi yang aduh kenapa kok lama sekali ditanggapinya, mengenai kasus
pelanggaran HAM yang tak kunjung tuntas, atau mungkin mengenai orang-orang yang
gemar flexingI tapi ternyata
kekayaannya hasil dari trading bodong, mengenai segala apa saja yang kini
tengah terjadi di kehidupanku yang biasa-biasa saja ini, oh ya Allah.
Bolehkah, ya Maulana
Oh ya, Maulana
Bolehkah?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar