Selasa, 19 April 2022

Oh ya Allah, Aku Ingin Mencintaimu ala-ala Generasi Z

 


Hari ini sedang malam-malam karena di luar gelap gulita, hanya bulan di sana berdiri dengan cantik. Matahari sedang pulang kerja, istirahat di rumahnya. Sementara aku belum tidur, mengetik-ngetikan jari di laptop ini. Mencoba menulis karena entah harus apa lagi, hanya memuaskan dorongan untuk menceritakan apa yang ingin diceritakan. Semoga saja terpuaskan, walau jujur aku dilahirkan bukan untuk jadi alat pemuas.

Malam ini ditemani musikalisai puisi dari Jalaluddin Rumi yang entah mengapa aku tiba-tiba saja mengetik hal itu di kolom Youtube, lalu ku-klik saja salah satu pilihan yang menampilkan dua orang piawai ini meracik puisi indah itu. Lirik-liriknya diambil dari Ghazal—semacam bentuk puisi Arab—Rumi nomor 1499, 1497, 1496. Kalian mesti mendengarkannya, kalau mau. Rasanya seperti di Timur Tengah sana, seperti apa namanya ... fatamorgana.

Aku jadi berpikir, berpikir apa saja. Berpikir bahwa mungkin Rumi dilahirkan memang untuk menjadi Rumi yang sebagaimana Rumi adanya, tetapi mengapa aku dilahirkan menjadi aku yang sebegini-begininya. Tapi oh, tapi aku berpikir lagi, aku ingat firman Allah yang Maha Baik Hati itu, “Sesungguhnya Aku telah menciptakan manusia dalam bentuk sebaik-baiknya!” Oh, ternyata begitu. Mungkin memang aku tidak pernah bisa menjadi seperti Rumi yang hebat sekali, tetapi walau sehebat apapun Rumi takkan pernah menjadi aku yang ngetik di depan laptop; yang pernah naik kereta api; yang pernah minum boba enak di Manisi.

Tapi tentunya, aku juga takkan pernah bisa menjadi Rumi yang puisinya dinyanyikan dua pria Iran itu dengan indah sekali. Yang puisi-puisinya banyak menginspirasi orang dengan berbagai cara yang puisi-puisi itu bisa berikan ke berbagai macam manusia dengan latar belakang yang berbeda-beda. Atau mungkin menjadi Rumi yang rela meninggalkan semuanya demi kecintaannya terhadap Kekasih Sejatinya, yang kuat menjalani rasa sakit dalam kerelaan dan keridhoan hati. Oh, aku sungguh enggak bisa kayaknya, engga kuat juga ... maklum kalau kata Ayah Pidi aku ini sejenis laki-laki penuh dosa (lapendos).

Aku takkan pernah bisa menjadi Rumi, ya Allah. Rumi adalah Rumi yang pernah hidup di zaman dahulu, jauh sebelum aku dilahirkan ke bumi ini. Rumi adalah yang terus-menerus bertasbih mengingat-ingat diri-Mu dalam syair-syairnya yang sedang kudengarkan ini, yang selalu menari-nari berputar merayakan kehidupan yang penuh akan cinta-Mu ini. Rumi adalah ia yang terus-menerus mengetuk pintu-Mu, lalu ternyata ia sadar bahwa selama ini yang ia ketuk adalah pintu dirinya sendiri. Oh ya Allah, kalau memang kau sedekat urat nadi, kalau kau memang sedekat itu denganku, bolehkah aku bertanya? Oh ya Allah, ini sudah tengah malam, bolehkah aku bertanya?

Aku mungkin tak bisa menghayati cinta-Mu sebagaimana Rumi merasa dan melakukannya, namun bolehkah kuhayati cinta-Mu itu dengan cara-cara yang kumiliki sendiri? Dengan ke-khas-an yang kau berikan pada tiap-tiap orang di muka bumi ini? Oh ya Allah, aku ingin merasakan cinta-Mu di dalam bioskop-bioskop yang menampilkan The Batman (asyik banget), bolehkah? Aku ingin merasakan cinta-Mu dalam bulir-bulir air Thai Thea yang masuk ke kerongkonganku yang dengan itu aku jadi senang dan tidak haus lagi, bolehkah ya Allah? Bolehkah ya Allah aku rasakan cinta-Mu itu yang dengan keluasan hati melahirkan Kurt Cobain yang nantinya bikin Band Nirvana dan dengan itu aku bisa mendengarkan Smells Like Teens Spirit untuk menjadi semangat menjalani hidup ini? Bolehkah ya Allah aku rasakan cinta-Mu itu hadir dalam refleksi diri ini mendengarkan lagu-lagu Kunto Aji atau Tulus yang kemarin-kemarin baru mengeluarkan album baru yang sunguh menyentuh itu? Bolehkah ya Allah, aku mencintaimu dengan cara-cara sederhana seperti itu seperti puisi Pak Sapardi itu, oh aku ingin mencintai-Mu dengan sederhana! Bolehkah ya Allah aku rasakan cinta-Mu itu di sela-sela tulisan tak serius ini, di balik titik atau koma-koma yang terselip di dalamnya?

Bolehkah, Ya Allah, aku anak generasi Z ini membaca cinta-Mu itu di balik kelangkaan minya goreng dan harga-harga kebutuhan pokok yang kini tengah naik semaunya. Bolehkah ya Allah aku melaksanakan firman pertamamu dalam pembacaan mengenai isu jabatan presiden yang katanya mau jadi tiga periode, mengenai kasus-kasus korupsi yang aduh kenapa kok lama sekali ditanggapinya, mengenai kasus pelanggaran HAM yang tak kunjung tuntas, atau mungkin mengenai orang-orang yang gemar flexingI tapi ternyata kekayaannya hasil dari trading bodong, mengenai segala apa saja yang kini tengah terjadi di kehidupanku yang biasa-biasa saja ini, oh ya Allah.

Bolehkah, ya Maulana

Oh ya, Maulana

Bolehkah?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar